ABK Menagih Janji Konstitusi

ABK Menagih Janji Konstitusi*
Dua Desember telah berlalu. Seperti tidak ada yang istimewa di tanggal itu. Beranda media-media sosial saya sama seperti hari biasa, tidak ada pamflet ucapan selamat yang tertayang, padahal hari itu Hari Disabilitas Internasional (HDI).
Kegiatan untuk memperingati HDI juga sedikit sehingga tak banyak pula reportasenya di media massa. Berbeda dengan peringatan lainnya yang tampak semarak. Memang, ada tokoh nasional yang tersiar berada di kegiatan HDI, namun yang lebih kuat terbaca publik, ia hanya mendompleng untuk mengangkat popularitasnya menjelang pemilu ketimbang kepeduliannya pada penyandang disabilitas. Alih-alih mendapat simpati, kehadirannya malah membuahkan rasa muak dalam pikiran masyarakat.
Senyapnya HDI dalam diskusi di ruang media sosial juga sedikitnya kegiatan dalam rangka HDI serupa dengan kehidupan penyandang disabilitas yang kerap terlupakan. Mereka tidak banyak dilibatkan dalam ruang interaksi sehari-hari. Bahkan, tak jarang kehadiran mereka disambut dengan tatapan sinis. Mereka baru mendapat perhatian ketika menciptakan prestasi gemilang.
Ada ribuan anak penyandang disabilitas di Indonesia dengan berbagai jenis kelainannya. Banyak di antara mereka yang memiliki bakat bernyanyi, suaranya indah, mampu memainkan berbagai macam alat musik, cerdas, dan berbakat. Setidaknya itulah yang kerap dijumpai dalam kehidupan sehari. Di balik kedisabilitasnya, ada kecerdasan lain yang kadang tidak dimiliki anak lainnya. Hanya saja, mereka lahir dari orang tua yang kurang mampu dan kurang memedulikan pendidikan sehingga potensi mereka terabaikan.
Data statistik Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Indonesia pada Juni 2021 menunjukkan bahwa anak penyandang disabelitas atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia yang berusia 5-19 tahun berjumlah 2.197.833 jiwa. Sementara data Kemendibudristek per Agustus 2021 menyebutkan jumlah ABK yang bersekolah di SLB dan sekolah inklusi hanya 12,26 persen saja atau berjumlah 269.398 anak (kemenkopmk.go.id).
Ada hampir dua juta anak ABK yang tidak merasakan pendidikan di bangku sekolah. Entah bagaimana mereka melalui hari-harinya saat anak-anak lainnya belajar di sekolah. Padahal, Undang-undang Dasar 1945 Pasa 31 jelas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya. Anak-anak ABK bagian dari warga negara yang harus mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan, karena kekhususannya, mereka berhak mendapatkan layanan pendidikan khusus sesuai dengan kekhususannya.
Menelantarkan mereka dengan tidak memberikan layanan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhan mereka, sama halnya dengan menyia-nyiakan masa depan bangsa ini. ABK sama dengan anak lainnya. Mereka memiliki potensi yang sama untuk sukses di masa depan. Mereka bisa berkarya dan memberi manfaat bagi dirinya dan orang lain.
Negara dengan regulasinya telah memberikan perhatian serius kepada mereka agar terhindar dari diskriminasi. Undang-Undang nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas secara gamblang menyebut hak-hak penyandang disabilitas termasuk hak pendidikan. Pendidikan sangat penting bagi mereka karena dengan pendidikan inilah mereka dapat meningkatkan kompetensinya dan membawa kehidupan yang lebih baik lagi. Selama ini mereka rentan terlantar dalam ekonomi, mendapat stigma negatif, dan menerima tindakan diskriminatif lainnya karena diawali dengan tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekhnologi telah berupaya untuk menjangkau penyandang disabilitas dengan program sekolah inklusi yaitu sekoklah umum yang memberikan layanan pendidikan kepada ABK sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Selama ini penyandang disabilitas hanya mendapatkan layanan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang jumlahnya sangat terbatas. Sekolah umum tidak menerima peserta didik berkebutuhan khusus karena keterbatasan sarana dan pendidik yang memiliki kompetensi untuk mendidik mereka. Andai pun menerima, sekolah akan memperlakukan penyandang disabilitas sebagaimana peserta didik lainnya. Kehadiran sekolah inklusi menjadi solusi di tengah keterbatasan jumlah SLB.
Hadirnya sekolah inklusi tidak serta merta membuat semua anak penyandang disabilitas mendapat pendidikan. Sekolah inklusi wajib menerima dan membimbing ABK yang mendaftar ke sekolah. Akan tetapi, sekolah inklusi tidak memiliki kuasa untuk “memaksa” masyarakat untuk menyekolahkan anaknya. Pemerintah perlu memberikan sosialisasi kepada masyarakat terlebih kepada orang tua yang memiliki anak difabel tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak juga bagaimana para orang tua dapat menerima kehadiran anak dengan segala keterbatasannya. Banyak dijumpai orang tua yang merasa malu memiliki anak difabel sehingga tidak mengantarkan anaknya ke sekolah.
Dinas pendidikan perlu mendeteksi sejak dini keberadaan anak berkebetuhan khusus untuk mempersiapkan sekolah yang akan memberikan layanan kepada mereka. Maka perlu kerjasama antar instansi, dinas pendidikan dengan dinas kesehatan, misanya, untuk memetakan keberadaan anak berkebutuhan khusus dan sekolah yang akan ditempati belajar. Selanjutnya sekolah yang akan ditempati perlu mempersiapkan sarana, guru, dan hal lain agar bisa memberikan pendidikan terbaik kepada mereka.
Perlu usaha yang lebih gigih lagi dari pemerintah, sekolah dan masyarakat dalam menghamba kepada ABK. Kepedulian perlu ditumbuhkan dan sosialisasi terus dilakukan. Tanpa usaha lebih, keadilan pendidikan hanya akan impian yang tidak akan dirasakan oleh semua warga negara.
*Taufiku
#sekolahinklusi; #inklusi; #janji; #konstitusi;
Share This Post To :
Kembali ke Atas
Artikel Lainnya :
Kembali ke Atas


